Oleh: Teuku Abdul Hannan, Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa

25
0

MediaSuaraMabes, Aceh – Tulisan ini merupakan opini hukum dan analisis publik berbasis dokumen resmi dan regulasi yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memberikan kontrol sosial terhadap penggunaan anggaran negara di institusi pendidikan tinggi.

Di balik berdirinya gedung kampus, selalu ada dokumen yang menjadi pijakan awal: sebuah surat keputusan yang menandai dimulainya proses pembangunan. Bagi publik, itu mungkin hanya selembar kertas. Tapi bagi negara, ia adalah sumber tanggung jawab, titik awal akuntabilitas.

Maka, ketika Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) menerbitkan Keputusan Nomor 476/UN11/KPT/2024 untuk menunjuk para pejabat strategis dalam proyek infrastruktur kampus, keputusan itu bukanlah urusan teknis belaka. Ia adalah jantung administratif dari proyek senilai miliaran rupiah.

Tapi masalah besar muncul sejak detik pertama SK ini dibaca secara kritis: tidak satu pun dasar hukum pengadaan barang/jasa yang dicantumkan. Tidak ada Perpres No. 16 Tahun 2018, tidak ada Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021, bahkan tidak ada Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023 yang seharusnya menjadi payung internal kampus.

Maka pertanyaan publik pun sah untuk diajukan:

Jika setingkat Keputusan Rektor saja tidak dibuat dengan benar, bagaimana kita bisa percaya bahwa pengelolaan proyek di bawahnya akan berjalan dengan tertib, transparan, dan akuntabel?

Bahkan lebih jauh:

Apakah Prof. Dr. Ir. MARWAN sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala benar-benar memahami bagaimana menyusun keputusan yang sah?

Atau jangan-jangan, universitas ini telah lama dikendalikan oleh kebijakan yang tampak legal—tapi sebenarnya kosong secara hukum?

Pertanyaan ini bukan retorika semata. Karena dari satu SK yang salah itu, telah lahir kekacauan administratif yang nyata: pemutusan kontrak sepihak terhadap CV. Jurongme Company dalam proyek pembangunan Gedung FKIP USK Tahap II, dengan dalih evaluasi progres, padahal dasar hukumnya nihil.

Kasus ini bukan sekadar insiden. Ia adalah cermin rapuhnya sistem tata kelola proyek di lingkungan USK, yang dimulai dari kesalahan paling mendasar: sebuah SK tanpa hukum.

I. KEPUTUSAN TANPA DASAR: SK 476/UN11/KPT/2024 DAN BAHAYA LATEN ADMINISTRASI KOSONG

Dalam dunia hukum administrasi, setiap keputusan pejabat publik harus dapat diuji asal-usulnya. Harus ada dasar hukum yang jelas, aturan yang menjadi fondasi, dan garis tanggung jawab yang tak bisa ditawar. Karena dalam sistem negara hukum, tidak ada keputusan yang sah tanpa legitimasi regulatif.

Itulah sebabnya, SK Rektor bukan hanya “produk kantor”—ia adalah akta hukum. Ia menjadi pangkal seluruh proses yang menyangkut keuangan negara, penggunaan sumber daya publik, dan pengambilan kebijakan teknis di lapangan.

Masalah Dimulai dari Satu SK yang Kosong Hukum

Pada tanggal 26 Januari 2024, Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) menerbitkan Keputusan Nomor 476/UN11/KPT/2024 yang menunjuk tiga pejabat penting dalam pengelolaan proyek infrastruktur kampus:

• Prof. Dr. Ir. Taufiq Saidi, M.Eng., IPU sebagai Kepala SUKPA (KPA),
• Dr. Ir. Suriadi, S.T., M.Sc., IPM., ASEAN.Eng. sebagai PPK Pelaksana Konstruksi,
• Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. sebagai PPK Perencana dan Pengawasan.

Namun ketika SK ini dibaca dengan kacamata hukum, kekeliruan fatal langsung terlihat:

• Tidak mencantumkan Perpres No. 16 Tahun 2018 Jo. Perpres No. 12 Tahun 2021 sebagai dasar hukum pengadaan nasional;
• Tidak mencantumkan Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021 sebagai aturan teknis operasional;
• Tidak mencantumkan Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023 sebagai landasan internal tata kelola.

Dengan kata lain, SK ini melahirkan kewenangan tanpa aturan main. Ia menetapkan jabatan strategis, tapi tanpa menyebut hukum yang membatasinya.

Ini Bukan Kelalaian Redaksional: Ini Cacat Formil

Dalam sistem hukum administrasi, ketiadaan dasar hukum adalah cacat formil yang menghilangkan validitas keputusan. Sebagaimana ditegaskan oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung dan praktik hukum tata usaha negara, keputusan yang tidak berdasar hukum:

• dapat dibatalkan secara administratif,
• tidak mengikat secara sah,
• dan berpotensi menimbulkan kerugian negara jika tetap dijalankan.

Bayangkan: kampus negeri sebesar USK mengelola proyek-proyek miliaran rupiah, tapi pejabat kuncinya ditunjuk tanpa menyebut satu pun aturan pengadaan.

Inikah bentuk pengelolaan universitas berbadan hukum? *

Rektor USK, Prof. Dr. Ir. Marwan, sebagai pihak yang menandatangani SK cacat ini, tidak bisa mengelak dari tanggung jawab struktural. Penandatanganan keputusan strategis tanpa dasar hukum yang sah bukan sekadar kekeliruan administratif — ia mencerminkan minimnya kehati-hatian, pengabaian norma regulatif, dan potensi pelanggaran prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.

Dan inilah awal dari kekacauan administratif yang kemudian menjadi bom waktu di lapangan—sebagaimana terjadi dalam proyek FKIP USK Tahap II.

II. KETIKA DUA PPK TIDAK PUNYA ATURAN MAIN: DUALISME TANPA KOORDINASI

Dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah, keberadaan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah kunci utama. Ia memegang kuasa administratif tertinggi dalam setiap kontrak yang ditandatanganinya: mulai dari pelaksanaan, pencairan anggaran, hingga evaluasi penyedia. Tapi yang jarang dipahami oleh publik — bahkan oleh sebagian pejabat — adalah bahwa PPK hanya boleh bertindak dalam batas wilayah kontraknya sendiri.

Skema Dua PPK = Tidak Salah Secara Teoritis

Dalam Keputusan Rektor USK No. 476/UN11/KPT/2024, dua PPK ditunjuk:

• PPK Pelaksana: Dr. Ir. Suriadi, S.T., M.Sc., IPM., ASEAN.Eng. → bertanggung jawab atas kontrak pelaksanaan dengan CV. Jurongme Company;

• PPK Pengawasan: Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. → bertanggung jawab atas kontrak pengawasan dengan CV. Sareena Consultan.

Secara struktur, ini tidak melanggar aturan. Tidak ada satu pun peraturan yang melarang penunjukan dua PPK untuk proyek yang berbeda. Namun justru di sinilah letak jebakan administratifnya:

Tidak ada satu pun regulasi nasional maupun internal USK yang mengatur bagaimana dua PPK ini harus berkoordinasi.

Fakta Regulasi: PPK Itu Teritorial, Bukan Transversal

• Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021:
o Pasal 11 ayat (1): PPK hanya bertanggung jawab atas pelaksanaan kontrak yang ditandatanganinya.
o Pasal 11 ayat (2): PPK dapat dibantu tim teknis untuk satu kontrak, bukan antar kontrak.

• Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021:
o Tegas menyatakan larangan tumpang tindih kewenangan antar PPK.

• Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023:
o Tidak mengatur koordinasi antar-PPK.
o Tidak menetapkan SOP distribusi laporan dari PPK Pengawasan ke PPK Pelaksana.

Contoh Nyata: Efek Domino pada Proyek FKIP USK Tahap II

Dalam proyek Pembangunan Gedung FKIP Tahap II, kedua PPK bekerja secara paralel dalam dua kontrak:

• CV. Sareena Consultan mengawasi proyek berdasarkan kontrak 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024;

• CV. Jurongme Company melaksanakan proyek berdasarkan kontrak 736/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024.

Namun karena SK Rektor tidak menyusun pedoman kerja dan mekanisme koordinasi antar-PPK, maka:

• hasil pengawasan tidak disampaikan melalui jalur resmi,
• evaluasi pelaksanaan menjadi bias dan sepihak,
• hingga akhirnya kontrak CV. Jurongme diputus secara ilegal oleh PPK Pelaksana, dengan dalih progres fisik tidak tercapai 100%.

Padahal, tidak ada satu pun pasal dalam Perpres, Peraturan LKPP, atau Peraturan Rektor USK yang membolehkan PPK Pelaksana mengevaluasi progres berdasarkan laporan dari konsultan pengawas, apalagi jika konsultan itu berada di bawah kontrak PPK lain. Seluruh regulasi yang berlaku — baik Perpres No. 16 Tahun 2018, Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021, maupun Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023 — secara tegas tidak memberikan kewenangan kepada PPK Pelaksana untuk menilai hasil kerja penyedia yang berada di luar kontraknya.

Ini Bukan Evaluasi, Tapi Aksi melampaui kewenangan jabatan

Semua tindakan administratif berikut ini melampaui kewenangan jabatan

1. Undangan opname pekerjaan → tanpa otorisasi dari PPK Pengawasan.
2. Penerbitan Surat Peringatan (SP-III) → tanpa validasi progres dari pengawas.
3. Pemutusan kontrak dan ancaman blacklist → dilakukan tanpa melibatkan PA/KPA, PPHP, atau Tim Evaluasi.

Hasilnya?
• Proyek berhenti.
• Penyedia jasa dicap wanprestasi tanpa hak klarifikasi.
• Negara berisiko merugi karena termin ke-3 tidak dibayar padahal progres fisik ada.

Penyedia Jadi Korban Sistem

Ini bukan soal satu orang salah tanda tangan. Ini sistem yang menjebak penyedia sebagai tumbal dari koordinasi yang tidak pernah dirancang.

CV. Jurongme Company menjadi korban dari struktur administratif yang tidak punya jalur komunikasi antar-PPK. Semua kerugian yang dialami — materiil, reputasi, dan peluang usaha — berawal dari sebuah SK yang tidak menyusun peta kerja.

Bukan Dua Kepala Masalahnya, Tapi Kepala Tanpa Protokol

Dualisme PPK tidak dilarang. Tapi ketika keduanya tidak diberi jalur komunikasi formal, yang terjadi bukan sinergi — melainkan tabrakan.

Proyek besar dijalankan oleh dua motor yang tidak terhubung setir. Akibatnya: arah kabur, tanggung jawab kabur, penyedia jadi korban —
yang pada akhirnya menyebabkan disfungsi struktural dan kegagalan administratif (maladministration) yang merugikan negara.

Jika struktur administrasi kampus ingin diselamatkan, maka reformasi tata kelola berbasis regulasi mutlak dilakukan. Tidak bisa lagi dibiarkan proyek dijalankan oleh pejabat yang tak mengerti hukum.”

Dalam dunia proyek negara, koordinasi bukan bonus—ia adalah syarat minimum akuntabilitas.

III. SURAT-SURAT CACAT PROSEDUR – KETIKA ADMINISTRASI DIJADIKAN ALAT PENINDASAN

Di atas kertas, administrasi terlihat rapi. Ada surat masuk, surat keluar, ada nomor, tanggal, dan stempel resmi. Tapi di balik formalitas itu, hukum tidak bekerja hanya dari penomoran — melainkan dari kewenangan. Dan ketika surat dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang, maka ia bukan alat negara, melainkan alat penindasan.

Itulah yang terjadi dalam proyek Pembangunan Gedung FKIP USK Tahap II Tahun Anggaran 2024. Sejumlah surat resmi dikeluarkan oleh PPK Pelaksana, Dr. Ir. Suriadi, kepada penyedia pelaksana (CV. Jurongme Company) dan konsultan pengawas (CV. Sareena Consultan). Namun setelah ditelusuri secara hukum dan administratif, seluruh surat itu cacat prosedur — dan bahkan melampaui batas jabatan.

• Surat No. 4215/UN11.PBJ/LK.01.01/PTNBH/2024 tanggal 12 November 2024, Undangan Evaluasi Progres

Ditujukan kepada:
• CV. Jurongme Company (pelaksana)
• CV. Sareena Consultan (pengawas)
• PPK Jasa Konsultansi
• Core Team dan Tim Teknis

Permasalahan:

• Surat ini dikeluarkan oleh PPK Pelaksana, yang tidak memiliki otoritas hukum untuk memanggil penyedia pengawas, karena pengawas berada dalam kontrak berbeda (ditandatangani oleh PPK Pengawasan).

• Tidak ada dasar dalam Perpres 16/2018 Jo. Perpres 12/2021, maupun Peraturan Rektor 54/2023 yang mengatur bahwa satu PPK bisa memanggil penyedia dari kontrak lain.

Kesimpulan:

Surat ini melanggar asas kewenangan administratif, dan dikualifikasikan sebagai tindakan melampaui jabatan.

• Surat No. 4691/UN11.PBJ/LK.01.01/PTNBH/2024 tanggal 16 Desember 2024, Undangan Opname Pekerjaan

Isi: Opname akhir akan dilakukan pada 17 Desember 2024 (hari terakhir kontrak).

Permasalahan:

• Opname adalah kewenangan PPK Pengawasan bersama konsultan pengawas dan tim teknis, bukan PPK Pelaksana.

• Berita acara opname yang dihasilkan tidak disahkan oleh PPK Pengawasan, dan dilakukan secara sepihak oleh PPK Pelaksana.

Kesimpulan:

Opname ini cacat prosedur, dan tidak sah dijadikan dasar evaluasi progres atau pencairan termin.

• Surat Peringatan III (SP-III) Nomor: 4715/UN11.PBJ/LK.01.01/PTNBH/2024,
tanggal 17 Desember 2024

Isi: Menyatakan bahwa CV. Jurongme wanprestasi karena tidak mencapai progres 100%.

Permasalahan:

• Penilaian progres tidak dilakukan melalui laporan resmi dari pengawas, tidak divalidasi oleh PPK Pengawasan, dan tanpa keterlibatan PPHP.

• Penilaian dilakukan secara sepihak oleh PPK Pelaksana, yang tidak berwenang mengevaluasi progres pengawasan.

Kesimpulan:

SP-III ini cacat yuridis, dan melanggar prinsip pembagian wewenang dalam kontrak.

• Surat Pemutusan Kontrak Nomor: 4734/UN11.PBJ/LK.01.01/PTNBH/2024,
tanggal 18 Desember 2024

Isi: Pemutusan kontrak sepihak dan pemberitahuan rencana blacklist.

Permasalahan:

• Pasal 78 ayat (6) Perpres 12/2021 menegaskan bahwa hanya PA/KPA atau UKPBJ yang berwenang memasukkan penyedia ke dalam daftar hitam, dan itu pun harus melalui rekomendasi evaluasi tim.

• Tidak ada dokumen evaluasi teknis, PPHP, atau berita acara serah terima yang sah.

• Surat ini dikeluarkan langsung oleh PPK Pelaksana tanpa dasar.

Kesimpulan:

Surat ini melanggar Perpres, melampaui kewenangan, dan berpotensi digugat secara perdata maupun administrasi.

• Surat No.4811/UN11.PBJ/LK.01.01/PTNBH/2024 tanggal 24 Desember 2024, Permintaan Dokumen Progress

Isi: Meminta dokumen progres yang disahkan oleh konsultan pengawas.

Permasalahan:

• Surat ini justru mengakui bahwa dokumen sah adalah dari konsultan pengawas, bukan dari PPK Pelaksana.
• Ini bertentangan dengan semua surat sebelumnya yang justru meniadakan peran pengawas.

Kesimpulan:

Surat ini adalah bukti administrasi bahwa tindakan sebelumnya tidak sah. Secara tidak langsung, surat ini menyelundupkan pengakuan cacat prosedur.

Kelima surat di atas menunjukkan pola penyalahgunaan kewenangan yang sistematis.

Bukan hanya kesalahan redaksional, tapi tindakan administratif yang melampaui hukum:

• Evaluasi yang tidak sah;
• Opname yang cacat;
• SP-III yang manipulatif;
• Pemutusan kontrak yang ilegal;
• Permintaan data yang bertolak belakang dengan tindakan sebelumnya.

CV. Jurongme Company menjadi korban dari sistem yang:

• Tidak menyediakan mekanisme koordinatif antar-PPK,
• Tidak menyediakan jalur sanggah administratif,
• Tapi justru menganggap semua tindakan sepihak itu sah — hanya karena pakai kop surat dan nomor resmi.

Inilah wajah gelap administrasi yang didekorasi dengan formalitas, tapi kosong dari keadilan.

IV. KONSEKUENSI HUKUM

Dalam negara hukum, setiap tindakan pejabat publik dapat diuji. Bahkan jika itu hanya berupa surat undangan atau peringatan, selama ia diterbitkan oleh otoritas negara dan berdampak pada hak-hak orang lain, maka konsekuensinya tidak bisa diremehkan.

Dalam kasus proyek Pembangunan Gedung FKIP USK Tahap II Tahun Anggaran 2024, seluruh rangkaian surat, opname, dan pemutusan kontrak yang dilakukan oleh PPK Pelaksana bukan hanya cacat prosedur — melainkan berpotensi melanggar hukum administrasi dan hukum perdata.

V. PENUTUP

Tidak ada sistem yang sempurna. Tapi sistem yang gagal belajar dari kesalahan, akan selalu menciptakan korban baru. Dan ketika kesalahan itu dibiarkan terjadi oleh institusi pendidikan tinggi — tempat lahirnya akal sehat dan nalar kritis — maka kerusakannya jauh lebih dalam dari sekadar administrasi.

Kasus pemutusan kontrak sepihak terhadap CV. Jurongme Company bukan insiden biasa. Ia adalah puncak dari serangkaian kelemahan struktural yang dibiarkan terjadi:

• Keputusan Rektor (SK 476/UN11/KPT/2024) dibuat tanpa dasar hukum;
• Dua PPK ditunjuk tanpa mekanisme koordinatif;
• Evaluasi dan opname dilakukan tanpa kewenangan sah;
• Kontrak diputus, penyedia diblacklist, negara berisiko rugi — semua atas nama administrasi yang formal, tapi melanggar hukum.

Ini Bukan Kesalahan Individu, Tapi Gagalnya Sistem

Di balik nama-nama pejabat yang disebut, ada masalah yang lebih besar: struktur tata kelola kampus yang longgar, aturan internal yang tidak berpijak pada regulasi nasional, dan sikap permisif terhadap pelanggaran administratif.

USK bukan kampus kecil. Ia universitas negeri tertua dan terbesar di Aceh. Tapi jika keputusan administratif di kampus ini masih diterbitkan tanpa dasar hukum, tanpa SOP, dan tanpa kontrol akuntabilitas, maka reputasi akademik yang dibangun puluhan tahun bisa runtuh hanya dalam hitungan bulan.

Diam Adalah Pengkhianatan Intelektual

Di manakah para profesor? Di mana suara para guru besar?

Jika kita bisa mengkritik negara karena melanggar hukum, mengapa diam saat kampus sendiri membuat keputusan yang melanggar hukum?
Sikap diam dari kalangan akademik bukanlah netralitas — tapi pembiaran. Apakah mereka tidak membaca SK yang cacat hukum itu? Ataukah mereka tidak merasa bertanggung jawab atas masa depan institusi yang mereka wakili?

SK yang Salah Bisa Merobohkan Proyek, tapi Diam Bisa Merobohkan Keadilan

CV. Jurongme Company bukan hanya korban administratif — mereka adalah peringatan hidup bahwa sistem bisa merusak siapa pun yang tidak bisa melawan.

Dan jika publik, akademisi, hingga negara terus diam melihat sistem seperti ini, maka bukan hanya bangunan FKIP yang gagal berdiri, tapi juga seluruh prinsip keadilan dalam pengadaan negara.

Karena ketika setingkat SK saja tidak bisa dibuat dengan benar, maka semua janji transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola hanyalah omong kosong belaka.