MediaSuaraMabes, Banda Aceh – Somasi resmi diabaikan. RH Law Firm & Partner menuding pimpinan BSI Ahmad Dahlan berperan dalam penahanan buku rekening kelompok pelaksana program pemerintah di Pidie Jaya. Fakta lapangan mengarah pada dugaan kolusi administratif antara bank dan unsur notariat.
Banda Aceh — Sikap bungkam Muntaha Mahfud, Kepala Cabang Bank Syariah Indonesia (BSI) Kantor Cabang Ahmad Dahlan Banda Aceh, menimbulkan sorotan tajam dari RH Law Firm & Partner. Firma hukum itu menilai, pengabaian terhadap somasi resmi bernomor 006/RH-LAW/X/2025 tertanggal 9 Oktober 2025 adalah bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip pelayanan publik dan kehati-hatian perbankan.
Somasi tersebut menegaskan agar pihak bank segera menyerahkan buku rekening asli milik tiga kelompok P3A — Usaha Bersama, Andesra, dan Mufakat Jaya — kepada penerima kuasa resmi tanpa penundaan. Namun hingga tenggat tiga hari kalender berakhir, tidak ada tanggapan maupun langkah konkret dari pihak cabang.
Program Pemerintah Terhenti karena Buku Rekening Ditahan
Rekening ketiga kelompok itu merupakan bagian dari Program P3–TGAI (Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi) Tahun Anggaran 2025 yang dibiayai oleh APBN melalui BWS Sumatera I di bawah Kementerian PUPR RI.
Dana program yang seharusnya telah digunakan sejak Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) diterbitkan pada 4 Agustus 2025, hingga kini tidak dapat diakses oleh kelompok pelaksana.
“Program irigasi masyarakat di Pidie Jaya mandek total karena rekening tidak bisa diakses. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi penghalangan terhadap pelaksanaan program pemerintah,” ujar Ridwan Muhammad.
Rincian Dana dan Struktur Program
Bahwa dana pada rekening dimaksud merupakan uang muka yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I, di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dana tersebut diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan perbaikan, peningkatan, dan/atau rehabilitasi jaringan irigasi sesuai Rencana Kerja P3A (RK-P3A) dalam rangka Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3–TGAI).
Program ini dijalankan melalui struktur kelembagaan Kementerian PUPR, yaitu Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA), Balai Wilayah Sungai (BWS), dan Satuan Kerja Operasi dan Pemeliharaan SDA sebagai unit pelaksana teknis di daerah.
Sebagai dasar pelaksanaan kegiatan, telah diterbitkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) tertanggal 4 Agustus 2025, dengan jangka waktu pelaksanaan 90 (sembilan puluh) hari kalender, dimulai pada 4 Agustus 2025 dan berakhir pada 1 November 2025.
Sejak pembukaan rekening pada bulan April 2025, penandatanganan kontrak dan SPMK pada 4 Agustus 2025, hingga surat somasi ini disampaikan pada 9 Oktober 2025, telah berlalu lebih dari enam bulan tanpa adanya penyerahan buku rekening kepada pihak yang berhak.
Kondisi tersebut secara nyata menunjukkan kelalaian administratif dan hambatan pelayanan, yang berimplikasi langsung pada tertundanya pelaksanaan program pemerintah yang bersumber dari APBN.
RH Law Firm menambahkan bahwa salah satu penyebab terhambatnya pembangunan di Aceh adalah cara-cara yang diduga dimainkan oleh Muntaha Mahfud, dengan memanfaatkan celah administratif perbankan untuk menahan akses terhadap dana program masyarakat.
Kejanggalan Lokasi Rekening: Kegiatan di Pidie Jaya, Rekening di Banda Aceh
RH Law Firm & Partner menyoroti kejanggalan mendasar dalam proses administrasi.
“Kegiatan program berada di Kabupaten Pidie Jaya, tetapi pembukaan rekening justru dilakukan di BSI Kantor Cabang Ahmad Dahlan Banda Aceh. Ini tidak logis secara operasional dan melanggar prinsip Know Your Customer (KYC),” ungkap Ridwan.
Menurutnya, setiap cabang BSI di daerah semestinya memiliki kewenangan penuh untuk melayani masyarakat di wilayahnya. Pemusatan pembukaan rekening jauh dari lokasi kegiatan membuka ruang bagi kontrol administratif yang tidak semestinya, dan berpotensi disalahgunakan untuk menahan atau mengendalikan dana publik.
Fakta Lapangan: Dokumen Bank Ditandatangani di Rumah Pegawai Notaris
Investigasi RH Law Firm menemukan fakta janggal lain.
Rumah Yuslianda, pegawai Notaris/PPAT Siti Nurmawani, S.H., M.Kn., di Gampong Rungkom, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, dijadikan tempat penandatanganan Akta Pendirian Kelompok P3A sekaligus pengisian Formulir Spesimen BSI tanpa kehadiran pejabat notaris maupun pegawai bank.
Proses tersebut hanya disaksikan oleh Aulia Rahman, bukan saksi resmi dari BSI Cabang Ahmad Dahlan.
“Formulir rahasia bank tidak mungkin beredar di luar kantor tanpa sepengetahuan pimpinan cabang. Ini menunjukkan adanya koordinasi tidak resmi antara pihak bank dan notaris,” ujar Ridwan Muhammad, S.H., M.Hum., Advokat RH Law Firm & Partner.
Analisis Hukum: Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian dan Pelayanan Publik
RH Law Firm menilai bahwa rangkaian tindakan tersebut berpotensi melanggar:
• Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
• Pasal 54 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; serta
• POJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU–PPT).
Berdasarkan seluruh temuan tersebut, terdapat indikasi kuat adanya kelalaian berunsur kesengajaan (dolus eventualis) dan koordinasi tidak resmi antara unsur perbankan dan pihak luar dalam proses pembukaan rekening serta penahanan buku rekening.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian negara, karena menyebabkan tertundanya pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Apabila keterlambatan dan penghalangan ini terus berlanjut hingga menghambat pelaksanaan kegiatan sesuai kontrak dan SPMK, kami akan menempuh langkah hukum terhadap Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai pihak yang turut menghalangi pelaksanaan program pemerintah,” tegas Ridwan Muhammad.
Perbuatan yang dilakukan oleh Muntaha Mahfud merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip tata kelola perbankan dan pelayanan publik.
Pertanyaannya kini, mengapa hal seperti ini tidak terpantau oleh Pimpinan Wilayah Bank Syariah Indonesia (BSI) Provinsi Aceh?
Kegagalan pengawasan di tingkat wilayah menjadi bukti lemahnya sistem kontrol internal BSI, yang semestinya mampu mencegah penyimpangan di tingkat cabang sebelum menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan pembangunan daerah.
Perbuatan yang dilakukan oleh Muntaha Mahfud merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip tata kelola perbankan dan pelayanan publik.
Pertanyaannya kini, mengapa hal seperti ini tidak terpantau oleh Pimpinan Wilayah Bank Syariah Indonesia (BSI) Provinsi Aceh?
Kegagalan pengawasan di tingkat wilayah menjadi bukti lemahnya sistem kontrol internal BSI, yang semestinya mampu mencegah penyimpangan di tingkat cabang sebelum menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan pembangunan daerah.
Lebih jauh, indikasi kuat menunjukkan bahwa praktik seperti ini diduga sudah menjadi pola yang biasa dimainkan oleh Muntaha Mahfud.
RH Law Firm & Partner menyebut, masyarakat perlu lebih berhati-hati dan kritis terhadap pelayanan BSI Cabang Ahmad Dahlan Banda Aceh, agar tidak menjadi korban dari sistem yang longgar dan rentan disalahgunakan oleh oknum di internal lembaga keuangan.
RH Law Firm: “Ini Catatan Penting bagi Mualem dan Ketua DPRA”
Dalam pernyataannya, RH Law Firm & Partner menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya kasus administratif, tetapi sudah menjadi masalah moral dan politik pembangunan Aceh.
“Kami sampaikan agar hal ini menjadi catatan penting bagi Mualem (Muzakir Manaf) dan Ketua DPRA. Ini adalah bentuk pelayanan terburuk yang dilakukan oleh BSI, dan sikap Muntaha Mahfud sebagai pimpinan cabang telah menghambat pembangunan irigasi masyarakat yang dibiayai APBN,” tegas Ridwan Muhammad.
RH Law Firm mendesak agar DPRA dan Pemerintah Aceh segera memanggil pihak BSI dan melakukan pengawasan menyeluruh terhadap operasional lembaga keuangan ini di Aceh.
Langkah Hukum dan Publikasi Terbuka
RH Law Firm & Partner menyatakan akan:
• Menyerahkan laporan resmi ke Direktorat Kepatuhan dan Divisi Audit Internal BSI Pusat;
• Mengajukan aduan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 5 Sumatera Bagian Utara; dan
• Menempuh jalur hukum pidana dan perdata jika ditemukan unsur pelanggaran wewenang dan pengendalian dana publik secara tidak sah.
Ketika lembaga keuangan syariah bertindak di luar koridor hukum, publik berhak tahu. Publikasi ini adalah langkah hukum berbasis transparansi,” tutup Ridwan Muhammad.
Pertanyaannya, di mana letak ‘syariah’-nya ketika prinsip keadilan, amanah, dan pelayanan justru diabaikan?
(Hanafiah)