Konflik Lahan di TNTN – Legalitas Semu, Kerugian Nyata, Masyarakat Terjepit

5
0

MediaSuaraMabes, Pekanbaru Riau – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), benteng terakhir hutan hujan dataran rendah Sumatera yang kaya keanekaragaman hayati, khususnya gajah dan harimau Sumatera, kembali menjadi sorotan akibat konflik lahan yang kompleks dan merugikan semua pihak. Konflik ini menyangkut aspek hukum yang rancu, implikasi sosial yang mendalam, kronologi panjang pelanggaran, kerugian negara yang signifikan, serta dampak buruk yang langsung dirasakan masyarakat, dengan akar masalah pada keabsahan surat-surat tanah yang diterbitkan oleh pemerintahan dusun, desa, dan kecamatan setempat.

Aspek Hukum: Legalitas Semu di Kawasan Lindung
1. Status Mutlak Kawasan Konservasi: TNTN ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No. 255/Menhut-II/2004. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan taman nasional adalah kawasan hutan negara yang tidak dapat dialihkan atau dimiliki secara pribadi. Setiap bentuk kepemilikan atau penguasaan tanah di dalamnya adalah ilegal secara hukum nasional.
2. Ketidakabsahan Surat Tanah Lokal: Surat-surat tanah yang diterbitkan oleh Kepala Dusun, Kepala Desa, atau Camat (seperti Petuk, Girik, atau sejenisnya) sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberikan hak milik atas tanah di kawasan TNTN. Kewenangan pemberian hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, dll.) berada di tangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997. Penerbitan surat oleh pemerintah desa/kecamatan di kawasan hutan lindung/nasional merupakan tindakan melampaui kewenangan (ultra vires) dan tidak sah.
3. Keterlibatan Tokoh Adat & Aparat: Terdapat indikasi kuat bahwa beberapa Tokoh Adat dan aparat pemerintah desa/kecamatan setempat terlibat aktif dalam “mengijinkan” atau bahkan “mengorganisir” pembukaan lahan dan penerbitan surat-surat semu tersebut. Praktik ini bisa disebabkan oleh ketidaktahuan hukum, tekanan sosial, atau yang lebih serius, motif ekonomi pribadi (menerima imbalan/fee). Keterlibatan mereka menciptakan legitimasi palsu di mata masyarakat, memperumit konflik, dan berpotensi menjerat mereka dalam tindak pidana (seperti pemberian surat palsu, korupsi, atau penyalahgunaan wewenang).

Aspek Sosial: Masyarakat Terjepit di Tengah Konflik
1. Masyarakat Korban Tipu: Sebagian besar warga yang membeli/menggarap lahan di TNTN berasal dari kalangan menengah ke bawah yang mencari nafkah. Mereka seringkali dibujuk atau tidak diberi informasi yang benar tentang status hukum kawasan dan ketidakabsahan surat yang mereka terima. Mereka menginvestasikan tenaga dan uang untuk membuka lahan (biasanya untuk kebun sawit skala kecil), percaya memiliki kepastian hukum.
2. Konflik Horizontal & Vertikal: Muncul konflik antara masyarakat yang merasa “pemilik sah” berdasarkan surat desa dengan masyarakat lain (termasuk masyarakat adat asli yang mungkin belum terlibat pembukaan) atau dengan pihak taman nasional. Konflik vertikal antara warga penggarap dengan pemerintah (Balai TNTN, Polisi Kehutanan, TNI) juga kerap memanas saat terjadi penegakan hukum (pengusiran, penertiban).
3. Kehilangan Mata Pencaharian: Ketika penegakan hukum dilakukan, warga penggarap kehilangan sumber penghidupan secara tiba-tiba. Tanaman mereka dimusnahkan, akses ke lahan ditutup, tanpa ada kompensasi yang memadai karena dianggap telah beroperasi secara ilegal sejak awal.
4. Ketegangan Sosial Tinggi: Situasi ini menciptakan ketegangan sosial yang tinggi, ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan rasa ketidakadilan di kalangan warga.

Kronologi: Pola Berulang Pelanggaran
1. Awal Masuk & Pembukaan: Masuknya masyarakat secara sporadis atau terorganisir (sering didukung/diijinkan oleh oknum aparat desa/tokoh) ke dalam kawasan TNTN, biasanya untuk perkebunan kelapa sawit. Proses ini berlangsung bertahun-tahun.
2. Penerbitan Surat Semu: Pemerintahan desa/dusun/kecamatan menerbitkan surat keterangan atau pengakuan atas penguasaan lahan tersebut, memberi rasa aman palsu.
3. Ekspansi & Konsolidasi: Lahan yang dibuka semakin meluas, terjadi penjualan-penjualan antar warga berdasarkan surat semu tersebut.
4. Penegakan Hukum & Konflik: Balai TNTN, didukung aparat, melakukan operasi penertiban, pemusnahan tanaman, dan pengusiran. Masyarakat yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, protes, atau upaya hukum (seringkali kandas karena dasar hukum surat mereka lemah).
5. Siklus Berulang: Setelah penertiban, seringkali terjadi pembukaan kembali atau perambahan di titik lain, menciptakan siklus yang tidak berujung.

Kerugian Negara: Nilai Ekologis yang Terbuang
1. Deforestasi Massif: Ribuan hektar hutan primer dan sekunder TNTN telah hilang, mengancam habitat kritis satwa langka seperti gajah dan harimau Sumatera, serta mengurangi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
2. Kerugian Ekonomi & Ekologis: Negara kehilangan potensi hasil hutan bukan kayu, jasa ekosistem (penyimpan karbon, pengatur tata air, pencegah banjir/erosi), dan potensi ekowisata. Nilai kerugian ini sangat besar dan bersifat jangka panjang.
3. Biaya Penegakan Hukum: Negara mengeluarkan biaya besar untuk operasi penertiban, pengamanan, dan proses hukum.
4. Kehilangan Pendapatan: Potensi pendapatan negara dari pemanfaatan berkelanjutan kawasan (jika terjaga) hilang.

Dampak Terburuk bagi Masyarakat: Lingkaran Setan Kemiskinan & Ketidakpastian
1. Kemiskinan Struktural: Investasi warga untuk membuka lahan dan menanam musnah saat penertiban. Mereka jatuh miskin tanpa aset pengganti.
2. Ketidakpastian Hukum & Masa Depan: Hidup dalam bayang-bayang pengusiran, tanpa kepastian atas tempat tinggal dan mata pencaharian.
3. Dampak Lingkungan: Degradasi lingkungan (kekeringan, banjir lokal, kebakaran lahan gambut) akibat deforestasi justru paling dirasakan oleh masyarakat sekitar.
4. Stigmatisasi: Masyarakat penggarap seringkali distigmatisasi sebagai perusak lingkungan, meski dalam banyak kasus mereka adalah korban dari sistem yang gagal.

Respon Herwin MT. Sagala: Seruan untuk Solusi “Win-Win” yang Berkeadilan

Merespon kompleksitas dan urgensi masalah di TNTN, Herwin MT. Sagala, Ketua Generasi Sosial Peduli Indonesia (GSPI) DPD Provinsi Riau sekaligus Koordinator Relawan Prabowo wilayah Indonesia Barat, menyampaikan pandangan dan seruannya:

“Konflik di TNTN adalah contoh nyata kegagalan tata kelola yang berimbas pada kerugian multi-dimensional: ekologi hancur, negara rugi, dan rakyat kecil menjadi korban utama. Praktek penerbitan surat tanah oleh aparat desa/kecamatan di kawasan hutan negara adalah pangkal masalah yang harus diusut tuntas. Ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tapi berpotensi tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan oknum tokoh adat dan pejabat.”

“Penegakan hukum mutlak diperlukan, tetapi harus diimbangi dengan solusi yang manusiawi dan berkeadilan bagi warga kecil yang terjebak dalam situasi ini. Mereka adalah korban dari informasi yang salah dan janji kepastian hukum semu. Menggusur mereka tanpa solusi alternatif hanya akan memindahkan kemiskinan dan menambah luka sosial.”

“Kami menyerukan kepada semua pemangku kepentingan, terutama Pemerintah Pusat (KLHK, BPN, Kemendagri), Pemerintah Provinsi Riau, dan Pemerintah Kabupaten, untuk duduk bersama mencari solusi ‘win-win’ yang konkret:

1. Audit dan Tindakan Hukum: Lakukan audit menyeluruh terhadap penerbitan surat tanah ilegal di kawasan TNTN dan proses hukum tegas terhadap oknum aparat dan tokoh yang terlibat, tanpa tebang pilih.

2. Moratorium dan Penataan Ruang: Perkuat moratorium penertiban sambil menata ulang tata ruang secara partisipatif, mengakui dan memetakan wilayah kelola masyarakat yang mungkin bisa diakomodir secara hukum (misal melalui Hutan Desa atau skema Perhutanan Sosial jika memungkinkan secara ekologis dan hukum).

3. Solusi Alternatif Berkelanjutan: Berikan akses dan dukungan kepada masyarakat terdampak untuk beralih ke mata pencaharian berkelanjutan di luar kawasan inti taman nasional, seperti agroforestri, ekowisata berbasis masyarakat, atau industri kreatif lokal.

4. Restorasi Ekosistem: Percepat program restorasi ekosistem di kawasan terdegradasi dengan melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja.

5. Penguatan Kelembagaan: Perkuat kapasitas Balai TNTN dan pemerintah daerah dalam pengelolaan kolaboratif dan resolusi konflik.”**

“Sebagai Relawan Prabowo untuk Indonesia Barat, saya meyakini semangat Pak Prabowo untuk memajukan daerah dan mensejahterakan rakyat kecil tanpa mengorbankan lingkungan. Solusi di TNTN harus mencerminkan semangat itu: tegas pada pelaku utama perusakan, tetapi penuh empati dan solutif bagi rakyat kecil yang terjebak. Hanya dengan pendekatan holistik dan dialog inklusif, kita bisa mengakhiri lingkaran setan ini dan mewujudkan Tesso Nilo yang lestari bagi alam, negara, dan masyarakat secara damai,” pungkas Herwin MT. Sagala.

Konflik di TNTN adalah bom waktu sosial-ekologis. Keabsahan surat tanah lokal yang melibatkan aparat dan tokoh menjadi akar masalah yang memerlukan penyelesaian hukum yang tegas. Namun, penyelesaian hanya melalui penegakan hukum represif tanpa solusi alternatif bagi masyarakat kecil yang sudah terlanjur “terjebak” hanya akan memperdalam luka dan memicu konflik baru.
Seruan Herwin MT. Sagala untuk solusi “win-win” yang berkeadilan, dengan menindak tegas pelaku utama (oknum penerbit surat dan penggerak perambahan skala besar) sekaligus membuka jalan keluar berkelanjutan bagi warga kecil terdampak, merupakan langkah penting menuju perdamaian dan kelestarian di Tesso Nilo. Kolaborasi semua pihak dan kebijakan yang berani sangat dibutuhkan.

Tentang GSPI:
Generasi Sosial Peduli Indonesia (GSPI) adalah organisasi sosial yang fokus pada pemberdayaan masyarakat, advokasi kebijakan, dan pelestarian lingkungan.