MediaSuaraMabes, Batam — Aktivitas cut and fill di kawasan Tanjung Uncang, Kota Batam, diduga kuat berlangsung secara ilegal. Tim media menyatakan akan melaporkan kegiatan tersebut ke Badan Pengusahaan (BP) Batam dan mendesak agar aktivitas tersebut segera dihentikan.
Tim media mempertanyakan pihak BP Batam yang diduga telah memberikan alokasi atau izin pemanfaatan lahan di kawasan Tanjung Uncang yang lokasinya berdekatan dengan sebuah yayasan. Bahkan, muncul dugaan adanya permainan antara pihak yayasan dengan oknum terkait dalam pengelolaan lahan tersebut.
Menurut tim media, aturan yang berlaku secara tegas menyebutkan bahwa kawasan perbukitan dan daerah resapan air tidak boleh dialihfungsikan untuk kepentingan swasta, terlebih untuk tujuan komersial.
Tim media juga menyoroti jarak lokasi aktivitas cut and fill yang sangat dekat dengan jalan utama, yakni kurang dari 20 meter. Padahal, Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 secara jelas mengatur batas minimal sempadan jalan sebagai area lindung yang tidak boleh dialihfungsikan.
Kawasan Tanjung Uncang tersebut dinilai memiliki fungsi strategis sebagai daerah tangkapan dan resapan air guna mencegah banjir dan longsor di Kota Batam.
“Seharusnya kawasan ini dijaga, dipelihara, dan diawasi. Bukan justru dialihfungsikan,” ujar tim media.
Ironisnya, pengelola lahan yang diketahui bernama Imam, yang disebut sebagai pengurus masjid, mengklaim bahwa aktivitas di lokasi tersebut telah mendapatkan izin dari pihak tertentu. Namun klaim tersebut belum dapat dibuktikan secara resmi.
Saat tim media melakukan investigasi ke lapangan, masih ditemukan alat berat jenis beko yang diduga digunakan untuk pemotongan bukit. Pengawas lapangan menyebutkan bahwa lahan tersebut disewa dari pihak yayasan yang dikelola oleh Imam, dengan rencana pemanfaatan untuk penampungan besi tua dan bengkel (doser/las).
“Alat berat masih ada dan aktivitas tampak terus berjalan. Indikasi rencana komersialisasi sangat jelas,” ungkap tim media.
Tim media menegaskan bahwa kawasan tersebut seharusnya difungsikan sebagai daerah penyangga dan resapan air, bukan dijadikan kawasan bisnis yang berpotensi merusak lingkungan.
Pemotongan bukit dinilai dapat menghilangkan fungsi ekologis kawasan, mencemari sumber air, serta meningkatkan risiko banjir dan longsor.
“Itu sudah masuk ke ranah hukum,” tegasnya.
Aktivitas pengalokasian lahan dan cut and fill tersebut diduga berpotensi melanggar berbagai regulasi, antara lain:
-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
-
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
-
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang atau gratifikasi
“Bagaimana mungkin daerah resapan air diberikan kepada pihak swasta untuk kepentingan komersial? Ini harus dibatalkan oleh BP Batam. Dampak alih fungsi seperti ini sudah sering menyebabkan banjir di berbagai wilayah,” ujarnya.
Tim media mendesak aparat penegak hukum serta pemerintah terkait untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran tersebut, karena dinilai tidak hanya merusak tata ruang, tetapi juga berpotensi mengandung unsur pidana.
Hingga berita ini diturunkan, BP Batam maupun pihak terkait belum memberikan keterangan resmi.
(Herman)





