Adat Minangkabau Menangis: Dua Oknum Dokter Diduga Kebal Hukum, Aniaya Korban Tua Renta, Gugatan Dilajutkan ke Pengadilan

17
0

MediaSuaraMabes, Bukittinggi — Di tanah yang dijaga oleh semangat siri dan pantang larang, di mana tuha-tuha disanjung sebagai pucuk pimpinan, adat Minangkabau hari ini menangis.

Tangisnya merambat melewati bukit-bukit barisan nan elok, menyebar ke dusun dan kampung yang penih harmoni — menangis atas kesaksian yang menyakitkan.

Miris, Dua oknum dokter yang seharusnya pelindung nyawa, diduga berani aniaya korban tua renta dengan sikap yang tidak berprikemanusiaan.

Sungguh naas penderitaan kakek ini, Tidak sampai pada penganiayaan fisik saja termasuk tidak mendapatkan bukti visum meskipun sudah mendatangi dan memohon pada rumah sakit tersebut.

Konsekuensinya langkah tegas diambil. Pengacara dan Konsultan Hukum Riyan Permana Putra, S.H., M.H., resmi mengajukan gugatan perdata terhadap RSAM Bukittinggi di Pengadilan Negeri Bukittinggi. Gugatan tersebut telah terdaftar dengan Nomor Perkara: 67/Pdt.G/2025/PN Bkt.

Gugatan ini muncul setelah RSAM diduga tidak mengeluarkan Visum et Repertum (VeR) untuk klien yang merupakan Niniak Mamak Kurai Bukittinggi, Datuak Rang Kayo Nagari yang menjadi korban dugaan penganiayaan — meskipun permintaan visum telah diajukan secara sah oleh penyidik Polresta Bukittinggi sebagaimana penjelasan Polresta melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor: SP2HP / 620 / X / 2025 / Reskrim tanggal 18 Oktober 2025.

RSAM yang diduga menolak menerbitkan visum karena kejadian sudah berlalu lebih dari empat bulan tidak memiliki dasar hukum.

Pengacara ini menegaskan bahwa Pasal 133 KUHAP mengatur bahwa penyidik berwenang meminta pemeriksaan medis untuk kepentingan peradilan — sesuatu yang seharusnya dipatuhi tanpa alasan.

Siapa sangka, di tempat yang seharusnya penuh dengan kehangatan gotong-royong dan rasa hormat kepada yang tua, ada tangan yang malah menyakiti?

Korban yang sudah lemah, yang hanya mencari pertolongan dan bukti untuk keadilan, malah dikenai sikap yang kejam — seolah-olah martabatnya tidak berharga, seolah-olah hukum tidak berani menyentuh mereka yang diduga kebal.

“Apa yang terjadi pada tanah kita yang selalu menjunjung tinggi adab dan budaya?” — tanya seorang datuak dengan suaranya gemetar. “Dokter seharusnya malaikat, bukan yang menghalangi jalur keadilan. Adat kita tidak pernah mengajarkan untuk menyakiti yang lemah — ini adalah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.”

Tangis adat tidak hanya untuk korban yang terluka, tapi juga untuk kehilangan kepercayaan pada yang seharusnya menjadi tumpuan.

Bagaimana bisa oknum ini berani bertindak demikian? Apakah benar mereka kebal hukum? Atau apakah kita sudah lupa akan nilai-nilai yang menjadikan Minangkabau sebagai Minangkabau?

Hari ini, tanah rumah gadang menangis. Menangis atas ketidakadilan yang menimpa yang tua.

Menangis atas sikap yang tidak berprikemanusiaan. Dan menangis menunggu jawaban: kapan keadilan akan tiba, dan kapan adat yang kita cintai akan kembali mendapatkan kehormatannya?

(M. Yaman)