Rakyat Lapar, Keuchik Gampong Baru dan Pemko Sibuk Seremonial

15
0

MediaSuaraMabes, Banda Aceh — Program ketahanan pangan yang seharusnya menjadi penyelamat rakyat di tengah tingginya harga kebutuhan pokok justru berubah menjadi misteri besar di Banda Aceh. Dana sebesar Rp187.387.300 yang dialokasikan untuk program ketahanan pangan di Gampong Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, tidak jelas laporannya. Hingga hari ini, audit Inspektorat Kota Banda Aceh mandek tanpa kejelasan. Publik pun menduga ada permainan antara aparatur gampong dan auditor yang sengaja membiarkan data hilang.

Tiga Dokumen, Satu Pola

Dari penelusuran dokumen resmi, terungkap bahwa dana Rp187 juta lebih ini dipecah ke dalam tiga paket anggaran berbeda:

• Rp.50.000.000
• Rp.82.327.800
• Rp.55.059.500

Meski rinciannya berbeda-beda, polanya sama: belanja material sederhana dipadukan dengan ongkos kerja dan honor tenaga ahli/pengawas hidroponik. Bahkan, dalam salah satu dokumen muncul item janggal seperti gayung Rp40 ribu, engsel pintu Rp38 ribu, CCTV Rp5 juta, paket data Rp1,2 juta, token listrik Rp3,6 juta, hingga spanduk kelompok Rp300 ribu. Pertanyaan publik sederhana: apa hubungannya CCTV, token listrik, dan spanduk dengan ketahanan pangan rakyat?

Keuchik Marwan Yusuf Disorot

Sebagai Keuchik Gampong Kampung Baru, Marwan Yusuf tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Sesuai dengan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, keuchik adalah pemegang kekuasaan penuh atas pengelolaan dana desa, termasuk program prioritas nasional seperti ketahanan pangan.

Artinya, setiap rupiah dari dana Rp187 juta itu seharusnya bisa dipertanggungjawabkan. Faktanya, sampai sekarang tidak ada laporan yang bisa dilihat oleh masyarakat. Kondisi ini memperkuat dugaan publik bahwa ada yang tidak beres dalam manajemen Marwan Yusuf sebagai keuchik.

Peta Indah, Perut Kosong

Ironinya, masalah ini terjadi justru setelah Pemko Banda Aceh mengeluarkan Surat Keputusan Wali Kota pada 23 Desember 2024 tentang Peta Ketahanan & Kerentanan Pangan 2024. Dalam peta tersebut, Pemko membagi wilayah menjadi 22 gampong rentan pangan dan 68 gampong tahan pangan. Peta ini dipamerkan sebagai pedoman kebijakan tahun 2025.

Tetapi kini publik menilai peta itu hanya indah di atas kertas, sementara di lapangan dana ketahanan pangan Rp187 juta di sebuah gampong justru hilang arah.

Illiza Lebih Sibuk Seremonial

Kekecewaan publik semakin besar karena hingga kini Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh, belum pernah memberi jawaban tegas terkait kasus ini. Masyarakat menilai Illiza lebih sibuk menghadiri acara-acara seremonial dan membangun pencitraan diri ketimbang fokus pada masalah nyata yang menyangkut perut rakyat.

Padahal, 22 gampong sudah resmi masuk kategori rentan pangan. Artinya, ribuan warga sangat bergantung pada kebijakan dan program ketahanan pangan yang benar-benar berjalan, bukan sekadar proyek anggaran dan pamer dokumen.

Kontras dengan Daerah Lain

Jika dibandingkan dengan daerah lain, kelemahan Banda Aceh semakin terlihat jelas:

• Aceh Singkil: Bupati minta audit terhadap Rp23 miliar dana pangan desa.
• Aceh Barat: Inspektorat langsung audit sembilan gampong begitu ada laporan warga.
• Aceh Besar: Menyabet indeks ketahanan pangan tertinggi di Aceh (85,62%) dan sudah membangun gudang pangan.

Sementara Banda Aceh yang seharusnya menjadi contoh sebagai ibu kota provinsi justru tertinggal: audit macet, dana tidak jelas, wali kota sibuk seremonial.

Penutup

Ketahanan pangan seharusnya soal memastikan rakyat tidak lapar. Tetapi di Banda Aceh, program ini berubah menjadi bahan proyek, dana hilang tanpa laporan, dan pemerintah lebih sibuk dengan acara seremonial yang penuh pencitraan.

Kini masyarakat memberi sinyal tegas: jika dalam waktu dekat Illiza Sa’aduddin Djamal tidak segera memerintahkan Inspektorat untuk melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja Keuchik Marwan Yusuf, maka jangan salahkan rakyat jika mereka memilih cara sendiri untuk mengaudit keuchiknya.

Rakyat Banda Aceh sudah terlalu lama lapar oleh janji-janji. Saatnya yang kenyang bukan lagi pejabat, melainkan warganya sendiri.  (Sudirman)