Oleh :
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa
MediaSuaraMabes, Aceh – Publik tentu masih ingat, bagaimana Keputusan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Nomor 476/UN11/KPT/2024 menjadi sorotan dalam laporan Dosa Beruntun Birokrat USK yang tayang di AJNN.net. Dalam keputusan itu, dua PPK ditunjuk untuk proyek lanjutan pembangunan Gedung FKIP Tahap II, salah satunya:
PPK Pengawasan: Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM.
Penunjukan ini tampak sah secara administratif, namun justru menjadi titik awal persoalan serius ketika ditelusuri lebih jauh ke dalam kontrak pengawasan yang ditandatanganinya.
Penulis memahami bahwa tidak semua masyarakat umum dapat langsung memahami persoalan ini, karena menyangkut istilah hukum dan regulasi teknis pengadaan. Tapi justru karena itu, penulis merasa perlu menyampaikan secara gamblang agar publik tahu bahwa ada persoalan serius dalam sistem pengelolaan proyek di Universitas Syiah Kuala, yang dikomandoi oleh guru besar dan pejabat kampus yang selama ini diasumsikan paham aturan.
Lucunya, mereka yang memegang gelar profesor, guru besar, dan jabatan puncak universitas ini, tidak mampu menyusun sebuah surat keputusan (SK) yang benar sesuai peraturan yang berlaku. Jika hal sesederhana itu saja tidak dikuasai, mengapa masih ngotot ingin jadi rektor dan mengatur triliunan dana pendidikan?
Contoh paling gamblang terlihat pada Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM.—seorang dosen teknik dengan sederet gelar akademik di belakang namanya—namun justru menandatangani kontrak pengawasan yang sama sekali tidak memuat substansi teknis sebagaimana diamanatkan dalam Perpres, Peraturan LKPP, dan Undang-Undang Jasa Konstruksi. Kontrak yang ditekennya nihil dari tanggung jawab verifikasi progres, validasi mutu pekerjaan, hingga kontrol teknis di lapangan. Dari hasil analisis yang akan dijabarkan, kontrak ini bukan hanya cacat hukum, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa gelar dan jabatan tidak selalu sejalan dengan pemahaman terhadap prinsip dasar tata kelola anggaran negara.
Tulisan ini disusun sebagai bentuk kontrol sosial atas penggunaan anggaran negara dan bukan merupakan tuduhan pidana. Semua pendapat bersandar pada dokumen resmi dan regulasi hukum yang berlaku.
CACAT SUBSTANSI KONTRAK PENGAWASAN
Analisis Kontrak Nomor 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024
Surat Perjanjian Kerja Nomor: 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024 secara resmi berjudul:
“Pekerjaan Jasa Konsultansi Konstruksi – Pengawasan Pekerjaan Lanjutan Tahap II Pembangunan Gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala.”
Kontrak ini ditandatangani oleh:
• PPK Kontrak Pengawasan: Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM.
• Penyedia Pengawasan: CV. Sarena Consultan, yang diwakili oleh Direktur, Ir. Zedi Fajri, S.T., M.T.
Judul kontrak ini secara eksplisit menyatakan bahwa CV. Sarena Consultan ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan konstruksi yang dilaksanakan oleh CV. Jurongme Company, sebagaimana tertuang dalam Kontrak Pelaksana Nomor 736/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024.
Tugas Pelaksana: Pasal 2 Kontrak CV. Jurongme
Untuk memahami apa yang seharusnya diawasi, kita harus terlebih dahulu melihat Pasal 2 dari kontrak pelaksanaan pekerjaan yang ditandatangani oleh:
• PPK Pelaksana: Dr. Ir. Suriadi, S.T., M.Sc., IPM., ASEAN.Eng.
• Penyedia Pelaksana: CV. Jurongme Company
Pasal 2 kontrak pelaksana menyatakan bahwa ruang lingkup pekerjaan utama mencakup:
1. Pekerjaan Persiapan
2. Penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
3. Pekerjaan Arsitektur, meliputi lantai I, II, dan III
4. Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal, baik standar (instalasi listrik dan plumbing), maupun non-standar seperti sistem tata udara, pemadam kebakaran, CCTV, sound system, dan lainnya
Ruang lingkup ini menunjukkan bahwa tugas CV. Jurongme Company sangat kompleks dan teknis, menyangkut seluruh aspek pembangunan gedung: dari struktur fisik, sistem keamanan, kenyamanan ruang, hingga kelengkapan fungsi gedung secara keseluruhan.
Maka seharusnya, kontrak pengawasan yang menyertainya wajib mencerminkan:
• Kualifikasi personel pengawas untuk masing-masing bidang pekerjaan;
• Prosedur kontrol mutu;
• Validasi progres mingguan dan hasil akhir;
• Format pelaporan dan tanggung jawab administratif terhadap setiap volume pekerjaan.
Namun, fakta kontrak menunjukkan:
• Tidak tercantum nama tenaga ahli pengawas
• Tidak ada rincian teknis: SKA, uraian tugas, atau jadwal kehadiran
• Tidak dilampirkan rencana personel atau jadwal mobilisasi
Namun sayangnya…
Pasal 2 Kontrak CV. Sarena: Tidak Menyebut Satu Pun Tugas Teknis Pengawasan
Saat publik mendengar kata “pengawasan konstruksi”, bayangan yang muncul pasti seputar kegiatan teknis: mengecek pekerjaan di lapangan, mengukur volume beton, mencatat progres mingguan, hingga menandatangani laporan akhir yang jadi dasar pembayaran. Itu semua benar.
Namun dalam Pasal 2 Kontrak Nomor 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024 antara PPK Ir. Rudiansyah Putra dan CV. Sarena Consultan, yang tercantum hanyalah dua poin:
1. Biaya Langsung Personil
2. Biaya Langsung Non Personil
Pasal ini sepenuhnya bersifat administratif. Ia hanya merinci struktur anggaran—bukan ruang lingkup kerja. Tidak dijelaskan:
• Apa yang harus diawasi oleh CV. Sarena;
• Kegiatan teknis apa saja yang menjadi tanggung jawab mereka;
• Tahapan verifikasi fisik, validasi progres, pengujian mutu, atau pelaporan hasil kerja.
Padahal, jika merujuk pada Pasal 2 kontrak pelaksanaan oleh CV. Jurongme Company, pekerjaan yang dilakukan sangat kompleks: mulai dari arsitektur tiga lantai, instalasi mekanikal-elektrikal, hingga sistem tata udara, sound system, dan pemadam kebakaran.
Apakah pekerjaan sebesar ini dibiarkan berjalan tanpa pengawasan teknis yang diatur secara tertulis?
Sayangnya, iya. Kontrak pengawasan ini tidak mengatur pengawasan.
Mengapa Ini Jadi Masalah Besar?
Dalam sistem hukum administrasi negara dan pengadaan jasa konstruksi, semua pelaksanaan tugas dan pembiayaan harus didasarkan pada dokumen tertulis yang sah.
Maka ketika:
• Judul kontrak menyebut “Pengawasan Konstruksi”,
• Tapi Pasal 2 hanya memuat struktur biaya tanpa uraian kerja,
• Dan tidak satu pun kegiatan teknis dimuat dalam kontrak,
…maka yang terjadi adalah kontrak kosong secara fungsi dan cacat secara substansi.
Dengan kata lain:
Ini bukan pengawasan, tapi hanya alokasi biaya tanpa kerja teknis yang dapat diverifikasi.
Siapa Itu Muammar, dan Apa Status Hukumnya?
Salah satu temuan paling mencolok adalah munculnya nama Muammar, S.T. dalam dokumen pengawasan yang disampaikan ke kampus. Nama ini muncul sebagai Team Leader Konsultan Pengawas dari CV. Sarena Consultan dalam:
• Laporan Kemajuan Pekerjaan tanggal 19 Desember 2024
• Laporan Obname Progress II berdasarkan Berita Acara tanggal 23 Desember 2024
Namun, fakta hukumnya adalah:
• Nama Muammar tidak tercantum dalam kontrak pengawasan sebagai personel utama atau tenaga ahli.
• Tidak ada lampiran, surat pengangkatan, atau adendum yang menetapkan posisi Team Leader secara resmi.
Konsekuensi Hukum:
• Keberadaan Muammar sebagai Team Leader dalam laporan merupakan cacat hukum karena tidak memiliki dasar pengangkatan sah dalam dokumen kontraktual.
• Laporan kemajuan yang ditandatangani olehnya berpotensi batal demi hukum karena tidak memenuhi asas legalitas administratif.
• Jika terjadi kesalahan pengawasan atau klaim pertanggungjawaban hukum, maka posisi Muammar tidak memiliki legitimasi yang sah.
Klaim Sepihak CV. Sarena vs Fakta Kontrak: Ketika Formalitas Dijadikan Justifikasi
CV. Sarena Consultan melalui kuasa hukumnya mengklaim telah melaksanakan pengawasan konstruksi secara profesional dan teknis. Mereka menyebut sejumlah tindakan yang, secara sepintas, tampak seperti pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya.
Isi Klaim CV. Sarena Consultan:
1. Melakukan pengawasan terhadap kualitas, kuantitas, dan progres fisik pekerjaan selama masa kontrak dan masa adendum.
2. Menghadiri rapat mingguan (SCM) dan menyampaikan laporan rutin progres pekerjaan bersama PPK, kontraktor, dan tim teknis.
3. Melaksanakan opname fisik bersama PPK dan pelaksana pada 17–18 Desember 2024.
4. Menyatakan bahwa tugas pengawasan selesai tepat waktu, dan setelah demobilisasi personel pada 17 Desember, mereka tidak lagi memiliki kewenangan terhadap pekerjaan lanjutan.
5. Mengklaim bahwa seluruh tugas telah dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (KAK), kode etik profesi, dan standar hasil kerja pengawasan.
Namun, setelah dibandingkan secara menyeluruh dengan isi kontrak resmi, klaim-klaim tersebut terbukti tidak memiliki landasan hukum dan administratif yang sah—cuma isapan jempol belaka.
Pembenturan Fakta: Kontrak Tidak Memberi Kewenangan untuk Klaim Tersebut
Setiap klaim yang disampaikan oleh CV. Sarena Consultan terdengar seolah menggambarkan pelaksanaan pengawasan yang profesional. Namun, ketika diuji terhadap isi Surat Perjanjian Kerja Nomor: 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024, seluruh klaim tersebut terbukti tidak memiliki dasar hukum kontraktual.
a. Klaim melakukan pengawasan kualitas, kuantitas, dan progres fisik pekerjaan
Faktanya: Tidak satu pun klausul dalam kontrak yang menyebut bahwa CV. Sarena memiliki kewenangan teknis atas pengendalian mutu atau volume pekerjaan.
Pasal 2 hanya memuat dua komponen administratif:
• Biaya Langsung Personil
• Biaya Langsung Non Personil
Ini adalah susunan anggaran, bukan ruang lingkup pengawasan konstruksi.
b. Klaim menghadiri rapat mingguan dan menyampaikan laporan progress
Faktanya:
• Tidak ada pasal yang menyebutkan mekanisme rapat mingguan (SCM) dalam kontrak.
• Tidak dicantumkan jadwal pelaporan, sistem monitoring, atau metode evaluasi progres.
• Bahkan tidak ada nama satu pun personel pengawas yang ditugaskan secara resmi dalam dokumen kontrak.
c. Klaim melaksanakan opname fisik pada 17–18 Desember 2024
Faktanya: Masa adendum kontrak berakhir 17 Desember 2024.
Opname pada 18 Desember dilakukan di luar masa kontrak, sehingga secara hukum:
• Tidak memiliki dasar kewenangan;
• Tidak sah dijadikan dokumen validasi pembayaran termin kontraktor.
d. Klaim bahwa setelah demobilisasi, tidak ada lagi kewenangan pengawasan
Faktanya: Kontrak tidak memuat prosedur atau berita acara serah terima tanggung jawab pengawasan.
Sementara pekerjaan konstruksi masih terus berlangsung di lapangan, artinya pengawasan tidak pernah benar-benar berakhir.
➤ Jika tidak ada pengawasan pasca-demobilisasi, lalu siapa yang bertanggung jawab atas progres yang tetap dibayar?
e. Klaim telah bekerja sesuai KAK, kode etik profesi, dan standar hasil kerja
Faktanya:
• KAK tidak dilampirkan dalam dokumen kontrak sebagai referensi hukum.
• Tidak ada standar hasil kerja yang tertuang dalam perjanjian.
• Tidak disebutkan indikator teknis, batas tanggung jawab, atau sistem evaluasi.
➤ Kode etik profesi bukan pengganti kontrak kerja. Dalam sistem hukum administrasi, legalitas hanya lahir dari dokumen sah, bukan dari klaim etis.
Catatan Kritis untuk Kuasa Hukum
Dalam konteks ini, kuasa hukum CV. Sarena Consultan sebaiknya membaca terlebih dahulu isi kontrak yang sah secara hukum, sebelum melontarkan klaim teknis yang tidak tertuang dalam dokumen perjanjian. Membela klien adalah tugas yang sah dan terhormat, tetapi membela tanpa memahami isi kontrak adalah kekeliruan yang fatal—lebih-lebih jika juga tidak memahami regulasi tentang penyusunan kontrak jasa pengawasan konstruksi.
Terlebih lagi, seluruh klaim teknis disampaikan oleh Muammar, S.T., yang mengaku sebagai Team Leader dalam pelaksanaan pengawasan. Namun faktanya, namanya tidak tercantum dalam kontrak, tidak dijelaskan perannya secara administratif, dan tidak ada satu pun lampiran resmi yang menyebutkan posisinya sebagai bagian dari tim pengawas.
Dengan demikian, seluruh aktivitas pengawasan yang dilakukan dan dilaporkan oleh Muammar, S.T. berlangsung tanpa legitimasi hukum, baik secara administratif maupun keuangan. Dalam sistem pengadaan negara, orang yang tidak disebut dalam kontrak tidak dapat dianggap bertanggung jawab secara sah atas pekerjaan, apalagi untuk keperluan opname dan pembayaran.
Total nilai kontrak ini pun cukup signifikan, yakni sebesar Rp.297.213.844 setelah mengalami penambahan melalui addendum. Artinya, meskipun nilai pekerjaan pengawasan ini tidak sebesar kontrak pelaksana konstruksi, tetap saja menyerap hampir Rp.300 juta dana negara tanpa kejelasan teknis yang tertuang secara eksplisit dalam klausul kontrak.
Kontrak bukan ruang tafsir bebas. Ia adalah dokumen hukum yang menentukan siapa yang sah, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana anggaran negara dapat dipertanggungjawabkan. Jika nama Team Leader saja tidak dicantumkan, maka seluruh sistem pelaporan dan pertanggungjawaban menjadi cacat sejak awal.
Pelanggaran Prinsip Good Governance dan Akuntabilitas
Kontrak pengawasan konstruksi yang ditandatangani oleh Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. sebagai PPK dan CV. Sarena Consultan sebagai penyedia, gagal memenuhi prinsip-prinsip dasar tata kelola proyek negara yang baik (good governance).
1. Tidak Akuntabel:
Kontrak tidak menyebutkan siapa tenaga ahli yang bertanggung jawab langsung atas pengawasan. Tanpa nama, tanpa SKA, dan tanpa jadwal kehadiran — tidak ada jejak tanggung jawab individu yang bisa dimintai pertanggungjawaban bila terjadi kerugian negara.
2. Tidak Transparan:
Kontrak hanya memuat dua frasa umum: “Biaya Langsung Personil” dan “Biaya Langsung Non Personil” dalam Pasal 2. Tidak ada rincian pekerjaan teknis, tidak ada metodologi pengawasan, bahkan tidak ada mekanisme verifikasi terhadap laporan progres yang akan digunakan sebagai dasar pembayaran penyedia pelaksana.
3. Tidak Profesional:
Pengawasan seharusnya dilakukan oleh personel resmi yang terdaftar dalam kontrak. Namun, laporan pengawasan disusun dan ditandatangani oleh pihak yang tidak memiliki legal standing, seperti Muammar, S.T., yang tidak pernah tercantum dalam dokumen kontrak. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kontrak pengawasan tidak tunduk pada asas profesionalitas sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
4. Potensi Penyalahgunaan Keuangan Negara:
Dengan nilai kontrak mencapai hampir Rp300 juta, pengawasan ini menyedot anggaran negara namun tanpa ada jaminan bahwa uang tersebut digunakan untuk fungsi pengawasan teknis sebagaimana mestinya. Hal ini membuka peluang terjadinya “pengawasan fiktif” yang berujung pada kejahatan administratif dan indikasi korupsi.
Kesimpulan
Kontrak yang semestinya menjadi dasar legal bagi pengawasan teknis, justru berubah menjadi dokumen kosong — tanpa arah kerja, tanpa personel sah, dan tanpa rincian metode pengawasan. Dalam kondisi seperti ini, seluruh proses pembayaran kepada CV. Sarena Consultan patut dikaji ulang secara hukum dan diaudit secara forensik.
Negara tidak boleh kalah oleh kontrak yang asal jadi. Jika pengawasan dilaksanakan tanpa pengawasan hukum yang sah, maka siapa yang sebenarnya mengawasi dana publik?
Dasar Hukum Kontrak Pengawasan: Legalitas yang Hanya di Atas Kertas
Kontrak Nomor 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024 secara eksplisit menyebutkan tujuh regulasi sebagai dasar pijakan hukum pelaksanaan jasa pengawasan, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Buku II tentang Perikatan);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan UU Jasa Konstruksi;
4. Permen PUPR Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara;
5. Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung;
7. Peraturan Rektor USK Nomor 54 Tahun 2023 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Universitas Syiah Kuala.
Namun ketika kontrak tersebut diuji melalui kaca mata regulasi yang mereka cantumkan sendiri, tampak jelas bahwa dokumen ini justru bertentangan secara fundamental dengan aturan-aturan yang disebutkan.
ANALISIS REGULASI DAN PERTENTANGANNYA DENGAN KONTRAK
1. UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
Pasal yang dilanggar:
• Pasal 35: SBU wajib dimiliki oleh penyedia jasa konstruksi.
• Pasal 44 ayat (2): Jasa konstruksi wajib dilaksanakan oleh tenaga bersertifikasi (SKA).
Konflik kontrak:
• Tidak dicantumkan SBU CV. Sarena Consultan.
• Tidak disebutkan tenaga ahli bersertifikat SKA atau nama personel pengawas.
Dampak:
• Kontrak berpotensi batal demi hukum karena melanggar ketentuan imperatif.
• Laporan pengawasan kehilangan validitas sebagai dokumen hukum.
2. KUHPerdata (Buku II tentang Perikatan)
Prinsip yang dilanggar:
• Pasal 1320: Kontrak harus memenuhi syarat subjektif (kecakapan) dan objektif (causa yang halal).
Konflik kontrak:
• Personel utama seperti Muammar tidak dicantumkan dalam kontrak → cacat kecakapan dan objek.
Dampak:
• Perjanjian dapat dibatalkan karena tidak sah secara hukum perdata.
3. PP Nomor 22 Tahun 2020
Pasal yang dilanggar:
• Pasal 40: Wajib evaluasi kualifikasi teknis.
• Pasal 55: Kontrak harus berdasar hasil evaluasi.
• Pasal 87: Kegiatan utama tidak boleh disubkontrakkan.
Konflik kontrak:
• Tidak ditemukan dokumen evaluasi.
• Tidak disebutkan hasil klarifikasi teknis.
• Tidak ada larangan eksplisit subkontrak → membuka celah “broker pengawasan”.
Dampak:
• Rp.271.472.922 sebagai nilai awal kontrak menjadi tidak sah secara prosedural.
4. Permen PUPR No. 22 Tahun 2018
Pasal yang dilanggar:
• Pasal 9 ayat (2): Pengawasan teknis wajib memenuhi standar teknis dan kendali mutu.
Konflik kontrak:
• Kontrak tidak mencantumkan ruang lingkup teknis.
• Tidak ada SOP pengawasan maupun kendali mutu → pengawasan tidak bisa diukur.
5. Permen PUPR No. 14 Tahun 2020
Pasal yang dilanggar:
• Pasal 18 ayat (1): Penyedia wajib menyampaikan personel bersertifikasi.
• Pasal 20 ayat (1): Uraian tugas personel harus menjadi bagian kontrak.
Konflik kontrak:
• Tidak ada pencantuman personel teknis dalam kontrak CV. Sarena.
• Uraian tugas tidak ditemukan → pelanggaran langsung terhadap Permen ini.
6. Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023
Pasal yang dilanggar:
• Pasal 17–18: Penyedia harus berasal dari Daftar Penyedia Terpilih (DPT).
• Pasal 21 ayat (1)–(4): HPS harus akurat dan terdokumentasi sebelum penunjukan.
• Pasal 23–25: Penunjukan wajib melalui metode pemilihan resmi.
Konflik kontrak:
• Tidak ada bukti CV. Sarena berasal dari DPT.
• Tidak ditemukan dokumen HPS.
• Tidak ada pelibatan Pokja Pemilihan.
• Tidak disebutkan metode pemilihan maupun proses klarifikasi teknis.
Dampak:
• Kontrak menjadi cacat prosedural dan administratif.
• Rentan dibatalkan, dan berpotensi mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Akibat Hukum dan Potensi Kerugian Negara
Fakta bahwa pembayaran dilakukan berdasarkan laporan yang ditandatangani oleh pihak yang tidak memiliki dasar kontraktual maupun kompetensi formal menjadikan seluruh transaksi keuangan terkait pengawasan ini berpotensi sebagai kerugian negara. Dalam konteks hukum administrasi dan keuangan negara, hal ini memenuhi unsur:
• Pembayaran tanpa dasar hukum sah
• Penggunaan laporan tidak sah sebagai dasar pencairan
• Tidak adanya verifikasi teknis dari personel bersertifikat
Dengan demikian, terbitnya kontrak ini bukan hanya cacat administratif, tetapi juga membuka jalan bagi dugaan tindak pidana korupsi, khususnya terkait pengadaan fiktif dan laporan fiktif dalam pelaksanaan pengawasan konstruksi.
Kesimpulan Yuridis
Kontrak pengawasan yang terlihat resmi dan menyebut banyak regulasi sebenarnya tidak mematuhi satu pun secara substantif. Ini adalah contoh nyata dari penggunaan legalitas formal sebagai kedok untuk menghindari pertanggungjawaban substantif.
Hukum bukan sekadar dicantumkan, tapi harus dijalankan. Ketika teks kontrak bertentangan dengan hukum yang disebutnya sendiri, maka kontrak itu tidak layak disebut sebagai dokumen negara yang sah.
Tanggung Jawab Fungsional Kepala SUKPA: Antara Legalitas dan Kelalaian
Dalam struktur PTN-BH Universitas Syiah Kuala (USK), jabatan Kepala Satuan Unit Kerja Pengguna Anggaran (SUKPA) bukan sekadar simbol administratif. Berdasarkan Pasal 24 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2022 tentang Statuta USK, seluruh pelaksanaan anggaran, termasuk pemilihan PPK dan pengesahan dokumen kontrak, berada dalam tanggung jawab Kepala SUKPA. Dalam konteks ini, Prof. Dr. Ir. Taufiq Saidi, M.Eng., IPU. menjabat sebagai Wakil Rektor IV USK sekaligus Kepala SUKPA, yang secara struktural membawahi bidang perencanaan, pengadaan, dan pemantauan anggaran.
Keterlibatan Taufiq Saidi dalam Proses Kontrak Pengawasan
Meski kontrak pengawasan ditandatangani oleh Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. selaku PPK, otorisasi administratif dan fungsional tetap melekat pada Taufiq Saidi karena:
• Penunjukan PPK dilakukan berdasarkan Keputusan Rektor USK No. 476/UN11/KPT/2024, yang secara teknis dikoordinasikan oleh SUKPA.
• Format dan struktur kontrak, termasuk rincian kegiatan dan beban anggaran, merupakan domain SUKPA yang dipimpin oleh Wakil Rektor IV.
• Tidak ditemukan koreksi atau supervisi terhadap kontrak pengawasan yang cacat isi maupun cacat administrasi.
Kontrak Pengawasan CV. Sarena Consultan Memang Terbukti Cacat
Kontrak pengawasan yang ditandatangani oleh PPK Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. dan CV. Sarena Consultan secara nyata terbukti mengandung cacat hukum dan administrasi. Fakta-fakta berikut menunjukkan dengan jelas bahwa kontrak tersebut bukan sekadar lalai, melainkan berpotensi menjadi skema formalitas administratif tanpa dasar teknis yang sah:
a. Tidak ada satu pun nama personel pengawas yang disebutkan dalam kontrak;
b. Tidak dicantumkan SKA, SBU, maupun sertifikasi pendukung tenaga ahli sebagaimana diwajibkan dalam UU Jasa Konstruksi dan Permen PUPR;
c. Tidak tersedia lampiran Rencana Personel, jadwal mobilisasi, maupun rincian waktu kehadiran tenaga ahli;
d. Tidak dijelaskan mekanisme pengawasan, standar operasional teknis (SOP), maupun indikator kendali mutu pekerjaan.
Parahnya lagi, laporan pengawasan justru ditandatangani oleh Muammar, S.T. yang tidak tercantum sebagai personel resmi dalam kontrak, dan tidak memiliki dasar hukum untuk bertindak sebagai Team Leader.
Dengan demikian, kontrak ini bukan sekadar cacat administratif, melainkan juga menyalahi seluruh dasar hukum yang tercantum di dalamnya sendiri, termasuk:
• UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,
• PP No. 22 Tahun 2020,
• Permen PUPR No. 14 Tahun 2020, dan
• Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023.
Bukan Sekadar Kelalaian, Tapi Kegagalan Sistemik
Kasus kontrak pengawasan antara Universitas Syiah Kuala dan CV. Sarena Consultan bukan semata soal kesalahan administratif teknis. Ini adalah refleksi dari kegagalan sistemik dalam tata kelola pengadaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban anggaran negara.
Ketika kontrak yang nilai totalnya mencapai hampir Rp300 juta tidak memiliki satu pun nama tenaga ahli, tidak mencantumkan tanggung jawab teknis, dan bahkan membiarkan laporan ditandatangani oleh pihak yang tidak sah, maka pengawasan yang dilakukan bukan hanya fiktif—tetapi juga ilegal.
Lebih fatal lagi, dokumen tersebut telah dilegalisasi oleh pejabat kampus dengan gelar dan kedudukan tinggi, seperti Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. (PPK) dan Ir. Zedi Fajri, S.T., M.T. (Direktur CV. Sarena Consultan), yang semestinya memahami prinsip legalitas dan akuntabilitas dalam dunia konstruksi dan administrasi publik.
Catatan Akhir
Sebagai institusi pendidikan, kampus tidak boleh menjadi laboratorium pembenaran atas pelanggaran hukum. Ketika kampus justru menyusun dan menandatangani kontrak yang cacat hukum, maka publik bukan hanya berhak—tetapi wajib—mempertanyakan kredibilitas moral dan legal institusi tersebut.
Jika tidak ada perbaikan struktural, maka USK tidak sedang mendidik calon pemimpin masa depan, melainkan sedang membentuk generasi pelanggeng kekacauan administrasi negara.
Gedung megah FKIP USK boleh jadi berdiri, tapi fondasi moral hukum di balik pembangunannya telah runtuh sejak awal.
Penutup
Kasus kontrak pengawasan antara CV. Sarena Consultan dan Universitas Syiah Kuala dengan Nomor: 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024 bukan hanya mencerminkan kelalaian administratif biasa. Ia adalah potret terang-benderang dari sistem pengadaan yang dibiarkan berjalan tanpa akuntabilitas, pengawasan internal yang lemah, dan minimnya kepatuhan terhadap regulasi teknis dan hukum.
Siapa Bertanggung Jawab?
• PPK Pengawasan, Ir. Rudiansyah Putra, tidak hanya lalai, tapi berpotensi menyalahgunakan wewenang administratif.
• Direktur CV. Sarena Consultan, Ir. Zedi Fajri, S.T., M.T., patut dimintai pertanggungjawaban atas penyusunan laporan yang tidak berbasis kontrak.
• Muammar, S.T., dapat dikenai sanksi jika terbukti menandatangani dokumen resmi tanpa legal standing dalam kontrak.
• Wakil Rektor IV USK, Prof. Dr. Ir. Taufiq Saidi, M.Eng.Sc., IPU., sebagai Kepala SUKPA, tidak bisa cuci tangan atas fakta bahwa seluruh sistem pengawasan dijalankan dengan kontrak kosong dan tidak memenuhi prinsip akuntabilitas fungsional.
• Rektor USK, Prof. Dr. Ir. Marwan, sebagai Pengguna Anggaran (PA) berdasarkan PP No. 38 Tahun 2022, bertanggung jawab penuh secara hukum atas seluruh proses pengadaan, baik pelaksanaan maupun pengawasan proyek FKIP Tahap II ini.
Jika yang disebut ‘pengawasan’ ternyata tanpa pengawasan, maka kampus ini telah mengkhianati fungsi pendidikannya: mendidik untuk memahami hukum, bukan membajak hukum demi kenyamanan kekuasaan.
Tulisan ini bukan seruan kebencian. Ini panggilan moral agar perguruan tinggi negeri tidak menjadi medan praktik “administrasi kreatif” yang justru membajak integritas akademik. Jika kontrak pengawasan saja kosong substansi, jangan heran jika yang dibangun kemudian adalah kebobrokan yang dilegalkan.