MediaSuaraMabes – Coba tanyakan pada diri sendiri, apakah ada pola asuh orang tua yang masih melekat di hati hingga saat ini?
Tidak sedikit orang yang tumbuh besar dengan pola asuh otoriter atau gayaparentingVOC merasa masih membawa “luka batin” hingga dewasa. Pola asuh yang keras sering meninggalkan jejak emosional yang membekas, seperti rasa takut, kesulitan percaya diri, dan hubungan yang rumit dengan orang lain.
- Tidak Hanya Perempuan, Konflik Menantu Laki-Laki dan Mertua Juga Bisa Menyebabkan Luka Batin
- Anak Tampak Kuat Setelah Perceraian Orangtuanya? Waspadai Luka Batin yang Tersembunyi
Namun, apakah luka batin masa kecil bisa sembuh?
Apakah luka batin akibat parenting otokrasi bisa sembuh?
Psikolog Klinis Ratih Ibrahim, M.M. menyampaikan, setiap orang memiliki peluang untuk bangkit dan pulih.
Menurutnya, kunci utama terletak pada daya resiliensi yang telah Tuhan berikan kepada manusia.
“Ya, luka batin ini akan sembuh karena Tuhan memberikan manusia sebuah daya untuk sembuh, yaitu daya resiliensi,” kata Ratih dalam acara Cussons Baby Peluncuran Kemasan Baru di Ganara Art Space Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
Ketahanan adalah cara menghadapi situasi sulit dan trauma dengan respons yang lebih positif.
Resiliensi inilah yang menjadi bekal agar seseorang mampu bangkit dari pengalaman pahit, termasuk pola asuh otoriter yang mungkin membuat masa kecil terasa berat.
- 4 Tanda Anak Mengalami Luka Batin Saat Orang Tua Berpisah, Sering Menarik Diri
- Kepentingan Validasi Emosi Anak Saat Perceraian agar Tidak Menyimpan Luka Batin
Cara menyembuhkan luka batin akibat pola asuh otoriter
1. Menentukan diri dengan jujur
Langkah awal yang disarankan Ratih adalah berani menentukan diri sendiri. Ia menambahkan, seseorang perlu jujur bertanya pada diri sendiri, yaitu “Sebenarnya saya ini siapa?”.
Caranya dengan mendefinisikan diri sendiri, tanyakan pada diri sendiri. Sebenarnya kita ini siapa? Korban,korban hidup“atau memang tidak berdaya?” tegas Ratih.
Dengan menentukan diri, seseorang dapat lebih mudah menentukan arah hidup tanpa terus-menerus terjebak dalam luka masa lalu.
2. Menghargai apa yang dimiliki
Langkah berikutnya adalah mengingat kembali hal-hal yang sudah dimiliki, sekecil apa pun itu.
Ratih menekankan pentingnya menghargai hal-hal sederhana yang ada dalam diri agar kamu lebih bersyukur dan melihat hal-hal positif dari diri sendiri.
“Kemudian, tanyakan pada diri sendiri, apa yang saya miliki? Seringkali kita membayangkan hal-hal yang tidak kita miliki, akibatnya lupa untuk menghargai apa yang sudah kita miliki,” katanya.
“Tidak perlu menyebutkan hal-hal besar yang kamu miliki, bahkan sekadar bersyukur memiliki dua kaki yang sehat atau rambut yang bagus sudah cukup karena di luar sana ada orang yang tidak seberuntung kamu,” lanjutnya.
Sikap bersyukur ini akan membantu seseorang membangun fondasi yang lebih kuat untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
3. Mengenali kekuatan diri
Ratih juga menekankan pentingnya refleksi terhadap kemampuan pribadi. Dengan cara ini, seseorang bisa menemukan sumber kekuatan dari dalam diri.
“Lalu, renungkanlah pada dirimu sendiri, ‘Apa yang bisa aku lakukan?’ Hal ini akan menjadi sumber kekuatan dari dalam dirimu untuk sembuh,” katanya.
Kekuatan ini nantinya akan membantu proses penyembuhan dan membuat seseorang lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupan.
- Dampak Psikologis Tinggal Bersama Orangtua Setelah Menikah, Bisa Menyebabkan Trauma dan Luka Batin
- 4 Jenis Self Healing untuk Memulihkan Luka Batin
4. Membuat narasi baru atas luka masa lalu
Saat mulai merasa lebih pulih, Ratih menyarankan seseorang untuk meninjau kembali pengalaman pahit yang pernah dialami.
Alih-alih terus menganggapnya sebagai ketidakadilan, pengalaman tersebut bisa didefinisikan dengan cara yang lebih positif.
“Contohnya, apakah kamu ingin selamanya menganggap itu sebagai ketidakadilan dan sampai mati dendam kepada orang tua kamu?,” kata dia.
Agar benar-benar bisa berdamai, kamu bisa melihat sisi positif dari gaya asuh otoriter yang pernah kamu alami.
Bukan untuk menolak apa yang terjadi, tapi melihat sisi positif bisa membuat hati kamu lebih lapang dan tidak terbawa dendam dalam waktu yang lama.
Ini dapat membuat kamu mudah sembuh dan bangkit menjadi versi diri yang lebih baik.
“Kamu bisa memilih narasi yang lebih positif, seperti kejadian tersebut membuat saya lebih mandiri, lebih cerdas, dan membuat saya memahami kriteria pasangan hidup yang ingin saya miliki seperti apa,” jelasnya.
Dengan membangun narasi baru, luka masa lalu tidak lagi menjadi beban, melainkan batu loncatan untuk tumbuh lebih kuat dan bijak.
5. Pahami bahwa kamu berharga
Setiap orang berhak sembuh dari luka masa lalu. Ratih menegaskan, kuncinya bukan melupakan, melainkan mendefinisikan ulang pengalaman dengan cara yang lebih sehat.
Pahamilah bahwa dirimu berharga dan harus bahagia. Melihat suatu peristiwa dengan perspektif yang berbeda dapat membuat hati menjadi lebih tenang, dan langkah ini merupakan bentuk dari mencintai diri sendiri.
Dengan kasih sayang terhadap diri sendiri, ketangguhan, serta keberanian dalam membangun narasi positif, seseorang dapat berdamai dengan masa lalu dan melangkah maju dengan lebih tenang.