Sastrawan Berkritik: Membaca “Debu Liar di Mata Wali Kota” Karya Muhammad Alfariezie

25
0

MSM TV –Lampung kembali menyajikan suara segar dari dunia sastra, kali ini melalui karya penyair muda Muhammad Alfariezie. Dengan gaya prosa lirik yang kental, ia menghadirkan puisi naratif berjudul Debu Liar di Mata Wali Kota. Karya ini tidak hanya menampilkan keindahan bahasa, tetapi juga menyampaikan kritik sosial yang tajam dan penuh simbolisme.

Sebagai seorang jurnalis sekaligus guru Bahasa Indonesia dan Olahraga di SMK Samudera Bandar Lampung, Alfariezie menggabungkan pengalaman di ruang kelas dengan ketajaman pengamatan dari dunia jurnalistik. Karya-karyanya menggabungkan gambaran satire dengan gaya prosa lirik, menjadikan puisi lebih dari sekadar rangkaian kata indah, melainkan refleksi terhadap kondisi sosial dan politik yang sedang berlangsung.

Debu Liar di Mata Wali Kota

Di sini ada yang terlunta

karena cinta, dia adalah kepala sekolah swasta

yang memilih ibu menjadi walikota

Mereka pohon bulan di tepi jalan padahal

sebelum ibu menjadi walikota, mereka

anggrek putih di vas bunga halaman istana

Dulu mereka selalu ada yang merawat

ketika pagi dan kebutuhan mereka terpenuhi

ketika senja sedang bernyanyi

Dulu juga, ketika hujan disertai angin kencang,

Mereka selamat dari segala ancaman

Tapi sekarang mereka terancam setelah dulu

beramai-ramai menyanyi indah dalam kampanye

kemenangan hingga ibu berhasil memimpin kota

Sekarang ancaman mereka bukan hanya dari debu

dan krisis musim, tapi dari gergaji ibu yang siap

memotong kekacauan

Padahal jika tanpa cinta mereka maka belum tentu dia wali kota

Puisi ini menyajikan ironi politik dengan menggunakan metafora yang kuat. Kepala sekolah swasta yang dahulu memainkan peran penting dalam mengantarkan kemenangan politik kini justru terpinggirkan. Mereka yang digambarkan sebagai “anggrek putih di vas bunga istana” kini ditempatkan sebagai “pohon bulan di tepi jalan”, simbol pergeseran status dari kemuliaan menuju keterasingan.

Empat Teknik Gaya Sastra Muhammad Alfariezie

1.Majas (Gaya Bahasa)

Metafora menjadi kekuatan utama dalam puisi ini. “Gergaji ibu” menggambarkan kekuasaan wali kota yang siap memangkas mereka yang dulu berjasa. Personifikasi hadir dalam kalimat “senja asyik bernyanyi” yang memberikan nuansa hidup pada alam. Hiperbola digunakan dalam frasa “ramai-ramai bernyanyi merdu dalam kampanye”, sebagai penekanan dukungan politik yang semarak.

2.Simbolisme

Alfariezie konsisten menggunakan simbolisme untuk memperkuat kritik sosial. Pohon dan anggrek putih melambangkan martabat guru swasta, debu dan krisis musim melambangkan kesulitan hidup, sedangkan gergaji bunda merepresentasikan kekuasaan yang siap menghilangkan pihak yang pernah berjasa.

3.Kata-kata

Pemilihan kata yang sederhana namun penuh makna menjadi ciri khas karya Alfariezie. Kontras diksi “dulu” dan “sekarang” memberikan penekanan terhadap perubahan kondisi. Kata-kata puitis seperti “hujan berpetir angin kencang” atau “cahaya berdebu” memperkuat daya imajinasi pembaca, menciptakan suasana yang nyata sekaligus emosional.

4.Gaya Retoris

Puisi ini menyajikan kontras antara harapan masa lalu dan realitas masa kini. Retorika satire ditujukan kepada sosok “bunda” sebagai representasi pemimpin politik yang ingkar janji. Keseluruhan puisi dapat dibaca sebagai alegori tentang nasib dunia pendidikan swasta yang dimanfaatkan lalu ditinggalkan setelah tujuan politik tercapai.

Prosa Lirik Bernuansa Kritik Sosial

Debu Liar di Mata Wali Kota menyajikan kritik tajam terhadap hubungan antara pendidikan dan politik. Kepala sekolah swasta yang dulu memberikan dukungan politik kini tidak lagi dianggap penting. Mereka yang dulu dipuji-puji kini dianggap sebagai debu liar yang tidak lagi bernilai. Kritik yang disampaikan Alfariezie bukan sekadar keluhan, melainkan refleksi mendalam tentang ketidakadilan dan realitas kekuasaan.

Menggugat Hubungan Pendidikan dan Kekuasaan

Puisi ini dengan lembut namun tegas mempertanyakan bagaimana pendidikan, khususnya sekolah swasta, sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Nasib para kepala sekolah swasta menjadi ironi: dari pendukung setia dalam kampanye, mereka kini hanya menghadapi ancaman kebijakan. Hubungan yang tidak seimbang ini berhasil dikemas oleh Alfariezie dengan bahasa puisi yang menusuk.

Muhammad Alfariezie: Penyair Muda dengan Dua Dunia

Selain aktif sebagai jurnalis, Alfariezie juga berdedikasi sebagai pendidik. Peran gandanya ini menjadikan karyanya kaya akan kepekaan sosial sekaligus estetika bahasa. Puisinya menggabungkan realitas yang ia temui sehari-hari dengan kemampuan literer yang matang, menghadirkan karya yang indah sekaligus penuh daya gugah.

Karya Debu Liar di Mata Wali Kota membuktikan bahwa sastra tetap relevan sebagai media kritik sosial. Dengan menggabungkan satire, simbolisme, diksi puitis, dan gaya retoris, Alfariezie menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata perlawanan yang elegan. Ia menghadirkan puisi sebagai peringatan, refleksi, sekaligus cermin realitas masyarakat yang kerap dipinggirkan oleh kepentingan politik.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here